Thursday, February 16, 2017

Hukum musik - 2

Masalah nyanyian, baik dengan musik mahupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.

Mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang kepada kemaksiatan, kerana pada hakikatnya nyanyian itu baik jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang dari adab Islam adalah haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu diiringi dengan nada dan irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas.

Namun demikian, mereka berbeza pendapat mengenai nyanyian selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Diantara mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik dengan menggunakan alat musik mahupun tidak, bahkan dianggapnya mustahab. Sebagian lagi tidak memperbolehkan nyanyian yang menggunakan irama musik tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan irama musik. Ada pula yang melarangnya sama sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan irama musik atau tidak).

Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, kerana asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih yang mengharamkanya. Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak sahih, atau sahih tetapi tidak sharih.

Kita perhatikan ayat pertama:

“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna …”
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi’in untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:

Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw.
Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi’in yang lain.
Ketiga: nash ayat ini justeru membatalkan argumentasi mereka, kerana didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:

“‘Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan …”

Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al Qur’an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah.

Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan shalat kerana sibuk membaca Al Qur’an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan.”

Adapun ayat kedua:

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …”
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian tidaklah tepat, kerana makna zhahir “al laghwu” dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (A1 Qashash: 55)

Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap ‘ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha Pengasih):

“… dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al Furqan: 63)

Andaikata kita terima kata “laghwu” dalam ayat tersebut meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak mewajibkan berpaling darinya.

Kata “al laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.

Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahawa Rasulullah saw. memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: “Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?” Beliau menjawab, “Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan, kerana ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) …” (Al Ma’idah: 89)

Imam Al Ghazali berkata: “Apabila menyebut nama Allah Ta’ala terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?”
Saya katakan bahawa tidak semua nyanyian itu laghwu, kerana hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya’. 

Dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia melihat hatimu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Baiklah saya kutipkan di sini perkataan yang disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata: “Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? [Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain kebenaran dan kesesatan] Allah SWT berfirman:

“… maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan …” (Yunus, 32)
Maka jawaban saya [Ibnu Hazm], mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahawa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan.”

Oleh kerananya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya.” (Ibu Hazm, al-Muhalla)

Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: “Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya.” Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu.”

Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar mengherdiknya seraya berkata: “Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?” Kemudian Rasulullah saw. menimpali:
“Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.”

Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.

- Kutipan dari buku Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer (Gema Insani Press), “Hukum Mendengarkan Nyanyian“.

bersambung....

Hukum musik - 1

Dalam masalah musik, lagu atau nyanyian, sekian zaman terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Dua pendapat itu yakni: kalangan mereka yang melarang musik dengan kalangan mereka yang membolehkan. Yang membolehkan lagu dan musik dengan landasan Al-quran (QS. Al- A’raf: 157): "dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka." Ayat lainnya dalam Al-Maidah ayat 4: "Mereka menanyakan kepada kamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”

Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Bukhari dan Muslim, ketika kafilah dagang yang ditunggu-tunggu oleh mereka (orang-orang muslim yang sedang melaksanakan shalat Jum’at) telah tiba dengan membawa barang dagangan, maka serta-merta mereka menyambutnya dengan nyanyian dan tabuh-tabuhan, sebagai ungkapan rasa senang atas kafilah dagang yang datang dengan selamat, juga sebagai ungkapan do’a agar barang dagangannya serta sebagai harapan mendapatkan hasil dan keuntungan yang banyak.

Tabuh-tabuhan dalam hal ini adalah berupa alat musik yang dipukul (duff). Dalam sebuah riwayat duff ini banyak dimainkan oleh penduduk dari golongan Anshar. Pernah suatu ketika, isteri nabi, Aisyah, mendengarkan dua orang Jariyah memainkan duff disertai dengan lantunan lirik syair, dan Nabi pun membiarkan.

Riwayat dan kisah seperti disebutkan di atas menjadi landasan yang cukup kuat bahawa musik diperbolehkan. Tidak hanya itu, hadis ini menjadi dalil bolehnya lelaki mendengar suara Jariyah orang lain (asing), kerana Nabi Saw. pun mendengar hal itu. Nabi SAW tidak melarang Abu Bakar untuk mendengarkannya. Bahkan melarang apa yang dilakukan oleh Abu Bakar (yang akan mengusirnya), dimana dua Jariyah tadi dibiarkan melantunkan nyanyiannya sampai Aisyah r.a. memberikan isyarat kepada keduanya untuk keluar dari rumah Rasulullah s.a.w.

Dalam hadis shahihnya, Imam Al-Bukhari meriwayatkan, dalam kitab nikah Bab: Dharb al Duff fi al Nikah Wa al Walimah (memukul Tambur selama pernikahan atau walimah), yang diterima dari Rubaayyi’ binti Mu’awwidz, beliau berkata: Rasulullah s.a.w datang pagi-pagi ketika pernikåhan saya, kemudian beliau duduk dikursiku seperti halnya kau duduk sekarang ini di depanku, kemudian aku menyuruh para Jariyah memainkan Duff, dengan menyanyikan lagu-lagu balada orang tua kami yang syahid dalam perang bàdar, mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai.
Hadis lain yang diriwayatkan Bukhari dan Imam Ahmad yang mengisahkan pernikahan kerabatnya Aisyah yang bersuamikan orang Ansor: Dari Aisyah r.a., bahawa beliau menghadiri pernikahan seorang wanita Ansor, maka Rasulullah s.a.w bersabda: Wahai Aisyah, apakah mereka tidak memainkan ”Lahwun”? Bukankah orang Ansor sangat suka permainan?

Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata: “Aisyah menikahkan orang Anshar kerabat dekatnya,” kemudian Rasulullah s.a.w datang sambil bertanya, “Sudahkah engkau memberikan hadiah untuknya?” Aisyah menjawab: “Ya, sudah”. Rasulullah s.a.w bertanya lagi “Sudahkah engkau mengirim orang untuk bernyanyi baginya?”Aisyah menjawab: “Tidak”. Kemudian Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya kaum Anshar adalah kaum yang suka akan senda gurau (Nyanyian suka-cita).”

Dalam suatu hadis disebutkan, ketika Rasulullah s.a.w hendak menuju perang, ketika kembali dari peperangan seorang datang menghampiri Rasulullah s.a.w seraya berkata:

“Wahai Rasulullah, sungguh aku telah bernazar, apabila engkau kembali dengan selamat aku akan menabuh Duff dan bernyanyi dihadapanmu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila kau telah bernadzar, maka tabuhlàh sekarang, kerana apabila tidak maka engkau telah melanggar nazarmu.” Kemudian jariyah tersebut menabuh duff dan bernyanyi.

Hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Nasa’i dalam kitabnya ‘Asyrah al nisa’ dari Al-Saib bin Yazid, bahawa seorang wanita datang kepada Rasulullah s.a.w, kemudian beliau berkata: “Wahai ‘Aisyah, apakah engkau mengenalnya?” Aisyah menjawab: “Tidak wahai Nabiyallah” Kemudian Rasulullah s.a.w bersabda: “Dia itu Qaynah (orang yang suka melantunkan Syair) dari Bani Fukan, apakah kamu mau menyanyikan lagu untukmu?”. Maka bernyanyilah dia untuk Aisyah. 

Bersambung.....

Btn_brn_77x28

Tajuk

Abbasiyah (1) altruisme - ikram (3) Aqidah (1) art video (20) Austronesia (10) Bahasa dan penampilan (5) Bangsa Melayu (7) batas sempadan (9) Berita (15) Besi (1) Biography solihin (1) Budaya dan pengertiannya (16) catitan (2) cerdik/bodoh dan antaranya (6) cetusan minda (8) cinta dan syahwat (3) Doha - Qatar (2) Eid Mubarak (5) falsafah (2) Fantasia falasi (3) Fibonacci (1) Filem (2) fitrah (1) Fungsi seni (1) gangsa (1) hukum (6) huruf (2) hutang (1) ijtima (1) Iklan (2) imitasi dan memori (1) infiniti (5) jalan2 (2) kebangsaan/nationalisme (2) kebebasan bersuara (1) Kelahiran kesenian yang mengubah warna dunia. (1) Kembali sebentar tentang erti seni (Islam) (1) kerja otak (1) Kesenian dunia Islam (1) komunikasi (1) konsep kendiri (3) konspirasi (1) Lagu (1) Lentok tangan (1) Malaysia (3) Masa (10) Maslahah atau mafsadah (1) Maya (ilusi) (4) Melaka (1) Melayu (2) Melayu dan Islam (9) minda (2) musik (2) nukilan rasa (1) Pantang dalam berkarya (1) Pause (6) Pembetulan sejarah (3) Pengajian dan pengertian budaya (1) Perasaan dan pemikiran (5) Persepsi / Tanggapan (6) pointillism (2) populasi dunia (9) Produk sejarah (11) Program dan hayat (2) prosa (4) ramadan (2) realiti - kenyataan (7) Sajak (22) Sangkaan (2) sebab dan akibat (18) sejarah (14) sejarah Islam Nusantara (1) sejarah Melayu (4) Sejarah mengubah/terubah (5) Sejarah seni dalam kehidupan insan (1) Sejarah video (1) Seni Bahasa (2) Seni dalam imiginasi (1) seni kata (1) Seni logam (3) Seni textil (budaya berpakaian) (2) Seni-seni mempertahankan diri (1) sound (1) Srivijaya (3) Sunda (6) Tahap kesederhanaan (1) Tahap-tahap kehidupan (14) tenung bintang (1) Terkesan dengan suasana (2) Tradisional dalam makna (1) Ukuran dan kayu pengukurnya (2) updated (1) Usia manusia (3) vision (1) wang (7) Wujudkah kosong? (2) zarzh slide (12)

Catitan lalu

Insuran & Road Tax Online

tetangga